Laman

Sabtu, 03 Januari 2009

Biofuel, Alternatif atau Ancaman?

Meroketnya harga bahan bakar minyak di pasar dunia yang semakin tidak terkendali menjadi salah satu isu terpenting sejak awal tahun ini. Seperti dilaporkan oleh BBC News, pada awal Juli 2008 harga minyak dunia tercatat hampir menembus angka 150 dolar AS/barel. Dipredikasikan juga oleh banyak kalangan bahwa hampir tidak mungkin harga minyak dunia akan kembali pada kisaran 100 dolar AS per barel.

Sejak dua-tiga tahun terakhir, seiring dengan membubungnya harga minyak di pasar dunia, beberapa negara mulai giat mencari alternatif sumber energi baru. Salah satu sumber energi yang mendapat perhatian sangat serius adalah biofuel.

Pada awalnya biofuel dipandang sebagai pilihan yang jitu selain sebagai alternatif kelangkaan bahan bakar minyak juga dipandang lebih ramah lingkungan atau greener serta dikampanyekan sebagai energi yang terbarukan (sustainable energy). Sumber energi alternatif ini sering juga disebut sebagai bioenergi atau bahan bakar nabati (BBN).

Indonesia sebagai negara net importir bahan bakar minyak juga cukup antusias menindaklanjuti pengembangan sumber energi alternatif tersebut. Perkembangan terkini promosi biofuel di Indonesia juga terkait dengan kunjungan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula Da Silva baru-baru ini di Jakarta. Presiden SBY dan Presiden Da Silva juga telah menyepakati kerja sama lebih lanjut dalam pengembangan biofuel utamanya etanol.

Sebuah alternatif
Produksi massal biofuel sebagai substitusi bahan bakar minyak merupakan satu solusi yang dipercaya dapat meredakan krisis energi dunia. Negara yang paling gencar mengembangkan biofuel adalah Amerika Serikat dan Brasil yang menguasai produksi bioetanol dunia dengan proporsi 46 dan 42 persen.

Sumber bahan baku produksi etanol di Brasil utamanya berasal dari tebu dan jagung yang dikembangkan di kawasan Amazon. AS memilih mengonversi jagungnya menjadi bahan baku etanol.

Indonesia juga memandang promosi pengembangan biofuel menjadi langkah yang strategis. Pengembangan energi alternatif tersebut telah dirintis sejak tiga tahun terakhir. Pilihan ini dipandang memiliki prospek yang baik karena dapat mengurangi subsidi negara untuk bahan bakar minyak, membuka kesempatan kerja, dan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.

Untuk menggencarkan pengembangan biofuel, pemerintah pusat telah membentuk Tim Nasional BBN. Sebagai implementasinya telah muncul investor nasional dan investor asing utamanya dari Jepang yang mengembangkan biofuel dengan bahan baku bervariasi, di antaranya kelapa sawit, ubi kayu, jagung, tebu, dan jarak.

Persaingan dengan pangan
Pengembangan biofuel seolah sebagai dua sisi mata uang. Di satu sisi merupakan alternatif energi baru dan sebagai solusi atas krisis energi. Di sisi yang lain ada indikasi dampak negatif dan kemungkinan ancaman kelangkaan dan kenaikan harga pangan jika bahan-bahan pangan diekplorasi sebagai bahan baku biofuel.

Sejak setahun terakhir, mulai muncul perdebatan sengit para ilmuwan dunia tentang sisi positif dan negatif eksplorasi sumber daya untuk memasok biofuel. Penggunaan bahan baku yang juga merupakan bahan pangan dipandang sangat membahayakan ketahanan pangan. Selain itu, ekspansi lahan-lahan kawasan hutan sebagaimana yang dikembangkan di Brasil untuk tebu dan kelapa sawit di Indonesia diindikasikan justru berdampak pada pemanasan global karena emisi gas buang jauh lebih besar.

Sebagaimana dilansir oleh National Post, di Amerika Serikat 16 persen lahan pertanian yang awalnya ditanami kedelai dan gandum diubah menjadi lahan jagung untuk memasok pabrik biofuel. Beberapa pihak menengarai perlunya kehati-hatian dalam implementasi program pengembangan biofuel di Indonesia. Implikasi yang ditimbulkan bisa sangat fatal apabila tidak dilaksanakan dengan pertimbangan yang komprehensif.

Penggunaan tetes tebu secara besar-besaran berpotensi mengurangi bahan baku gula sehingga pada gilirannya akan mengancam stok dan membahayakan produksi gula nasional. Kalau terjadi krisis, kelangkaan gula juga akan muncul.

Selain itu penggunaan kelapa sawit sebagai bahan baku biofuel jika tidak terkendali akan mengancam produksi minyak goreng sebagai salah satu produk tradisionalnya. Ketidaktepatan strategi dan implementasinya bisa menyulut krisis minyak goreng nasional seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu.

Beberapa ahli internasional telah menengarai bahwa efektivitas dan efisiensi biofuel masih dipertanyakan, selain karena membahayakan persediaan bahan pangan. Namun, juga dari aspek dampak emisi gas buangnya yang disinyalir berdampak besar terhadap peningkatan pemanasan global dan perubahan iklim yang ekstrem.

Membubungnya harga pangan dunia akhir-akhir ini juga ditengarai karena kontribusi kebijakan pengembangan biofuel. Informasi mengejutkan dilaporkan The Guardian Newspaper edisi 4 Juli 2008 dengan mengutip laporan World Bank yang tidak dipublikasikan menunjukkan bahwa biofuel telah menyebabkan kenaikan harga pangan dunia sampai dengan 75 persen.

Menekan ancaman
Tampaknya perlu adanya kebijakan strategis yang mengatur pemilihan bahan baku biofuel. Penggunaan bahan baku yang juga merupakan sumber pangan penting semaksimal mungkin dihindari karena berisiko dan mengancam ketahanan pangan.

Pemanfaatan lahan-lahan marginal seperti lahan pesisir dan daerah tandus yang kurang sesuai untuk produksi pangan dengan introduksi komoditas sumber energi yang tahan lingkungan kritis bisa menjadi alternatif. Di antaranya tanaman jarak atau pemanfaatan limbah industri pertanian, seperti limbah pabrik pengolahan CPO.

Selain itu pemanfaatan biomassa yang tersedia melimpah akan menjadi strategi alternatif bagi pengembangan biofuel nasional di masa depan. Pemilihan bahan baku yang bukan merupakan sumber pangan perlu mendapat prioritas yang tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan baik,,,


Silahkan tinggalkan jejak anda di komentar postingan, untuk kunjungan balik saya. Terima kasih.... ^_^

Artikel populer